Selamat jalan, Pak Arief Budiman
By Admin
Oleh : Swary Utami Dewi
23 April 2020. Sehari jelang Ramadhan.
Aku baru menyentuh hp sore ini, sesudah kugunakan untuk zoom meeting dari pagi sampai siang. Saat kubuka wa, aku kaget membaca berita dari Mbak Leila Budiman, tentang wafatnya Pak Arief Budiman, pada siang ini, dalam usia 79 tahun.
Sosiolog terkemuka itu pertama kukenal lewat bukunya "Pembagian Kerja Secara Seksual", saat aku masih kuliah di UI dan mempelajari Feminisme di Kalyanamitra. Saat kuliah di Monash University, Melbourne, Januari 1998 sampai Mei 2000, aku intens bergaul dengan banyak orang Indonesia yang tinggal di Melbourne, termasuk pasangan suami istri yang baik, Prof. Dr. Arief Budiman dan Leila Budiman.
Pak Arief mengajar di University of Melbourne, sejak pindah mengajar dari Universitas Kristen Satya Wacana. Saat di Melbourne, Pak Arief menginisiasi Melbourne Discussion Grup, yang rutin mengadakan diskusi mingguan sore tentang berbagai isu mengenai Indonesia. Aku rajin datang di forum itu bersama beberapa teman aktivis Indonesia yang saat itu bersekolah ataupun memang tinggal di Melbourne, seperti Lugina, Damai Damairia Pakpahan, Hila Kopong Hilarius, Bela Kusumah, Diana Pratiwi, alm Wira Katopo, Wita Krisanti, Mbak Tila dsb.
Aku dan beberapa teman juga rajin membantu Prof. Arief yang dalam kapasitasnya sebagai profesor dan pendiri Indonesia Studies di University of Melbourne, kerap mengadakan berbagai kajian dan kegiatan tentang Indonesia, baik tentang politik, sosial, dan budaya. Di situ juga seingatku ada kolega-kolega beliau di kampus seperti Mbak Nani, Justin dan kemudian Mas Ariel Heryanto.
Yang cukup kuingat dengan baik adalah ajang tahunan tentang Islam di Indonesia, di mana Pak Arief menggawangi semacam seminar internasional selama dua hari. Aku dan teman-teman selalu menjadi panitia acara tersebut. Di situ hadir narsum-narsum utama langsung dari Indonesia. Beberapa yang kuingat pernah jadi pembicara adalah alm Cak Nur, dan Budhy Munawar Rahman.
Gegap gempita rasanya saat itu tentang Indonesia di Melbourne dan rasanya begitu bersemangat karena adanya Pak Arief dan teman-teman lain, baik dari Melbourne Discussion Group dan Ikawiria (yang dimotori Ibu Tuti Gunawan). Indonesia naik daun di Melbourne.
Pak Arief juga selalu menjadi tokoh pemikir kritis, bahkan kerap ikut aksi turun ke jalan, dari para mahasiswa Indonesia di Melbourne, saat terjadi pergolakan menurunkan rejim Soeharto tahun 1998. Beliau menjadi teman diskusi yang asyik dan menarik untuk isu apapun.
Saat Timor Timur (sekarang Timor Leste) bergolak dengan hasil referendum keluar dari Indonesia pada 1999 (referendum dilakukan 31 Agustus 1999) dan kondisi di sana menjadi chaos dan berdarah, Indonesia mendapat kritik yang luar biasa keras dari asing, termasuk dari publik Australia. Saat itu rasanya kurang nyaman menjadi orang Indonesia yang tinggal di Melbourne. Saat itu pula, aku baru melahirkan anak pertama, Alif, 1 September 1999, yang lahir dalam kondisi prematur 3 minggu. (Soal nama Alif, Pak Arief pernah bercanda. "Wah ketahuan Tami penggemar berat saya. Sampai anaknya diberi nama Alif. Kan itu panggilan cadel dari Arief." Itu guraunya).
Seingatku, kira-kira 40 hari sesudah melahirkan, Pak Arief menelponku, memintaku memberikan speech singkat mewakili warga Indonesia yang ada di Melbourne, pada forum publik yang besar di Melbourne, yang digelar oleh publik Australia untuk menunjukkan simpatinya kepada Timor Leste. Pesan Pak Arief, sampaikan apa saja yang menurutmu harus disampaikan. "Tunjukan simpatimu tentang apa yang terjadi. Tetapi tidak lupa bahwa kita ini orang Indonesia yang cinta Indonesia dan cinta keadilan." Itu kira-kira kata beliau.
Dan malam itu di stadion yang cukup besar di Melbourne, seingatku sekitar 40 hari sesudah melahirkan, aku setengah gugup menyampaikan statement singkat di hadapan publik yang membludak. Di panggung hadir pula Xanana Gusmao. Aku gugup karena khawatir statementku keliru dan menjadikan Indonesia makin dihujat. Dan ternyata sesudah statement itu selesai dibacakan, aku dapat tepuk tangan yang luar biasa, termasuk dari Xanana. Esoknya beberapa sahabat, termasuk Pak Arief, juga mbak Dewi Anggraeni, menelpon menyatakan apresiasinya.
Saat Mei 2000 studiku selesai dan aku kembali ke Jakarta, aku meminta sehelai surat pengantar dari Prof. Arief. Beliau menulis semacam surat referensi resmi menggunakan kop kampusnya, berisi impresinya tentang diriku. Yang sangat kuingat adalah pernyataannya bahwa aku pribadi yang friendly dan sangat mudah tertawa.
Sesudah itu, aku menjadi jarang bertemu, meski komunikasi dengan beliau, utamanya Mbak Leila, terus terjalin lewat hp. Dua kali seingatku aku sempat bertemu lagi. Sekali waktu aku masih tinggal di Dewi Sartika, dekat RS Budi Asih. Prof Arief datang mengunjungi ke rumah. Sesudah itu aku bertemu di Melbourne tahun 2009 saat aku mengikuti kegiatan The Climate Reality Project. Pak Arief mengajakku makan dan ngobrol.
Banyak kesanku tentang kebaikan Pak Arief. Pak Arief orang pertama yang mengajarkanku langsung tentang sikap egaliter. Setiap ada kegiatan, di mana kami harus mengatur kursi, menata ruangan dsb, Pak Arief selalu turun tangan, misalnya membantu mengangkat kursi. Padahal saat itu, beliau merupakan Profesor terpandang dan cukup berpengaruh di Australia.
Pak Arief juga membantu memperkuat sikapku yang kritis dan berani berkata jujur. Beliau juga menanamkan semangat cinta Indonesia. Secara langsung, bagiku, ia merupakan salah satu mentor yang membentuk jati diriku.
Pak Arief yang baik, tulisan singkat ini bisa jadi merupakan ungkapan dukaku atas kepergianmu. Aku yang tidak sempat melihatmu, waktu Pak Arief sudah kembali ke Indonesia dan kemudian kena parkinson. Tapi aku bersyukur, aku selalu mendapat kabar dari Mbak Leila yang luar biasa baiknya, tentang Pak Arief dan Mbak Leila.
Aku bangga bisa mengenal dekat denganmu. Aku bersaksi tentang segala kebaikanmu, juga kiprahmu terhadap Indonesia. Beristirahatlah dengan tenang, Prof.
Allah menyayangimu. Al fatihah.